Judul : Pembagian Administratif Hindia Belanda
link : Pembagian Administratif Hindia Belanda
Pembagian Administratif Hindia Belanda
Het Paleis te Buitenzorg (sekarang Istana Kepresidenan Bogor, Kota Bogor, Jawa Barat) |
Sistem administrasi daerah Hindia Belanda (setelah merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 bernama Indonesia) dikenal rumit dan mengakui bentuk-bentuk pemerintahan daerah yang berbeda-beda. Setelah pembubaran Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) pada tanggal 31 Desember 1799 dan diakuisisi oleh Belanda, administrasi wilayah bekas kekuasaan VOC lalu diatur sepenuhnya oleh pemerintah, dengan pengecualian pada masa pemerintahan sementara Inggris antara tahun 1811-1816 di Jawa serta tahun 1810-1817 di sebagian wilayah lainnya (semisal Bengkulu dan Belitung).
Sewaktu pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels (1808-1811), Jawa dibagi menjadi 9 provinsi. Pada waktu Inggris berkuasa, Gubernur Jenderal Thomas Raffles membagi Jawa menjadi beberapa karesidenan. Terlepas dari beberapa perubahan di tahun-tahun berikutnya, perubahan besar sistem administrasi di Jawa terjadi pada tahun 1901, 1925, dan 1931; serta di Sumatera pada tahun 1906.
Menurut Regeering Reglement (RR) 1854, Hindia Belanda diperintah oleh Gubernur Jenderal atas nama Raja/Ratu Belanda secara sentralistis. Daerah Nederlandse Indie dibagi dalam dua kategori besar yaitu daerah Indirect Gebied dan Direct Gebied.
Daerah Indirect Gebied adalah daerah yang diperintah secara tidak langsung oleh Gubernur Jenderal di Batavia. Daerah ini biasanya berbentuk kerajaan atau kesultanan yang terikat dengan perjanjian politik baik jangka panjang maupun jangka pendek. Perjanjian ini dilakukan oleh Raja/Sultan dari kerajaan/kesultanan lokal dengan Residen/Gubernur sebagai wakil Gubernur Jenderal atas nama Raja/Ratu Belanda. Dengan perjanjian tersebut kerajaan/kesultanan memiliki status "negara semi merdeka" (negara dependen) dalam lingkungan Kerajaan Belanda. Daerah-daerah tersebut diperintah oleh dinasti pribumi dan memiliki struktur pemerintahan lokal sendiri. Pemerintah Hindia Belanda hanya menempatkan para pengawas dengan pangkat Asisten Residen, Residen, atau Gubernur sesuai dengan tingkatan daerah yang didasarkan pada kepentingan pemerintah Hindia Belanda. Dari sinilah kemudian muncul kedudukan khusus suatu daerah yang dikenal dengan nomenklatur Zelfbesturende Landschappen (Daerah Swapraja/Daerah Otonom/Daerah Istimewa).
Daerah Direct Gebeid adalah yang diperintah secara langsung oleh penguasa di Batavia secara hirarkis. Pemerintahannya bersifat administratif atau sering disebut "pemerintahan pangreh praja". Pemerintahan ini pun dibedakan antara pemerintahan di wilayah Jawa dan Madura dengan di wilayah luar Jawa dan Madura.
Pada perkembangannya, muncul tuntutan adanya desentralisasi sejak tahun 1854, dimana parlemen Belanda berhak mengawasi pelaksanaan pemerintahan di Hindia Belanda. Tuntutan tersebut secara perlahan terwujud diawali dengan adanya desentralisasi keuangan (1903), kemudian baru adanya pemerintahan daerah baru (1922). Berdasarkan Undang-undang Perubahan tahun 1922, wilayah administratif (gewest) Hindia Belanda dibagi dalam provinsi (provincies) dan kegubernuran/governorat setingkat provinsi (gouvernement). Kegubernuran tidak memiliki status otonomi, berbeda dengan provinsi yang memiliki status otonomi di tangan Gubernur.
Sampai pada tahun 1938, Hindia Belanda dibagi menjadi 3 Provinsi dan 5 Kegubernuran:
- Provinsi Jawa Barat (West-Java) beribukota di Batavia
- Provinsi Jawa Tengah (Midden-Java) beribukota di Semarang
- Provinsi Jawa Timur (Oost-Java) beribukota di Surabaya
- Kegubernuran Surakarta (Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran) beribukota di Surakarta
- Kegubernuran Yogyakarta (Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman) beribukota di Yogyakarta
- Kegubernuran Sumatera (Sumatra) beribukota di Medan
- Kegubernuran Kalimantan (Borneo) beribukota di Banjarmasin
- Kegubernuran Timur Besar (Groote Oost) beribukota di Makassar
Kediaman Residen Sumatera Timur di Medan, yang sekarang beralih fungsi menjadi gedung kantor Standard Chatered. |
Wilayah provinsi dan kegubernuran di atas dibagi lagi dalam beberapa karesidenan yang mengacu pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Thomas Raffles ketika kekuasaan Inggris.
Karesidenan tersebut adalah:
- Kegubernuran Sumatera (Sumatra): Aceh, Tapanuli, Sumatera Timur, Riau, Sumatera Barat, Bengkulu, Jambi, Palembang, Bangka-Belitung, dan Lampung.
- Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur: Banten, Batavia, Bogor, Priangan, Cirebon, Banyumas, Pekalongan, Kedu, Semarang, Jepara-Rembang, Madiun, Kediri, Bojonegoro, Surabaya, Malang, Probolinggo, Besuki, dan Madura (tidak termasuk wilayah Surakarta dan Yogyakarta yang berstatus kegubernuran/gouvernement).
- Kegubernuran Kalimantan (Borneo): Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan-Timur.
- Kegubernuran Timur Besar (Groote Oost): Bali-Lombok, Timor, Sulawesi, Manado, dan Maluku-Papua.
Di daerah Jawa dan Madura, secara berurutan tingkatan pemerintahan dan kepala pemerintahannya (dalam tanda kurung), adalah:
- Provinsi dan Kegubernuran (Gubernur)
- Karesidenan (Residen)
- Kotapraja (Walikota) dan Kabupaten (Asisten Residen dan Bupati/Regent)
- Kawedanan (Wedana)
- Kecamatan (Asisten Wedana)
- Desa (Lurah/Kepala Desa)
Di daerah luar Jawa dan Madura, secara berurutan tingkatan pemerintahan dan kepala pemerintahannya (dalam tanda kurung), adalah:
- Kegubernuran (Gubernur)
- Karesidenan (Residen)
- Afdeling (Asisten Residen)
- Onder Afdeling (Controleur)
- District/Kawedanan (Demang)
- Onder District/Kecamatan (Asisten Demang)
- Desa/Marga/Kuria/Nagari/nama lain (Kepala Desa/gelar lain)
Gubernur sampai Asisten Residen untuk Jawa dan Controleur untuk luar Jawa haruslah berkebangsaan Belanda, dan disebut Eurpese Bestuurambtenaren. Sedangkan Bupati sampai Lurah/Kepala Desa untuk Jawa dan Demang sampai Kepala Desa/gelar lain untuk luar Jawa adalah penguasa berkebangsaan pribumi dan disebut Inlandse Bestuurambtenaren.
Penobatan R.T. Musono sebagai Bupati/Regent Surabaya sekitar tahun 1940-an. |
Dengan adanya Decentralisatie Wet 1903 (Stbl. 1903 No. 329) prinsip otonomi mulai diperkenalkan. Di beberapa daerah mulai dibentuk Locale Raad (semacam DPRD). Perkembangan selanjutnya muncul Wet Op de Bestuurshervormings 1922 (Stbl. 1922 No. 216). Sebagai Badan Pemerintahan Harian di tingkat Provinsi dan Kegubernuran terdapat College van Gedeputeerden yang dipimpin oleh Gubernur. Di tingkat Kabupaten terdapat College van Gecomitteerden yang dipimpin oleh Bupati/Regent. Sedangkan untuk kotapraja terdapat College van Burgermeester en Wethouders yang dipimpin oleh Walikota.
Selain wilayah administrasi yang telah dijabarkan di atas, Hindia Belanda juga mengakui daerah-daerah semi-otonom yang memiliki hak pemerintahan sendiri, dikenal dengan sebutan Zelfbesturende Landschappen atau Daerah Swapraja (Daerah Otonom/Daaerah Istimewa).
Daerah swapraja adalah salah satu bentuk yang diakui oleh pemerintah kolonial dan mencakup berbagai bentuk administrasi, seperti kasunanan, kesultanan, kerajaan, dan kadipaten. Status swapraja berarti daerah tersebut dipimpin oleh pribumi berhak mengatur urusan administrasi, hukum, dan budaya internalnya. Para penguasa Daerah Swapraja ini terikat dengan perjanjian politik baik jangka panjang maupun jangka pendek. Perjanjian ini dilakukan oleh Raja/Sultan dari kerajaan/kesultanan lokal dengan Residen/Gubernur sebagai wakil Gubernur Jenderal atas nama Raja/Ratu Belanda. Dengan perjanjian tersebut kerajaan/kesultanan memiliki status "negara semi merdeka" (negara dependen) dalam lingkungan Kerajaan Belanda. Daerah-daerah tersebut diperintah oleh dinasti pribumi dan memiliki struktur pemerintahan lokal sendiri. Pemerintah Hindia Belanda hanya menempatkan para pengawas dengan pangkat Asisten Residen, Residen, atau Gubernur sesuai dengan tingkatan daerah yang didasarkan pada kepentingan pemerintah Hindia Belanda.
Beberapa daerah swapraja ditingkatkan statusnya menjadi kegubernuran, seperti Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran serta Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman. Untuk swapraja-swapraja lain beberapa ada yang setingkat dengan kabupaten, afdeling, onder afdeling, district, dan onder district. Swapraja-swapraja besar dan berpengaruh di luar Jawa dan Madura yang pernah berdiri (dan masih eksis hingga pasca kemerdekaan Indonesia walau telah kehilangan kekuasaan politik dan ekonominya) antara lain Kesultanan Langkat, Kesultanan Deli, Kesultanan Siak, Kesultanan Pontianak, Kesultanan Kutai Kartanegara, Kesultanan Bulungan, Kerajaan Buleleng, Kerajaan Karangasem, Kesultanan Sumbawa, Kesultanan Gowa, Kedatuan Luwu, Kesultanan Buton, Kesultanan Ternate, dan Kesultanan Tidore.
Sultan A.M. Parikesit, Sultan ke-20 Kesultanan Kutai Kartanegara, beserta permaisuri di Kedaton Putih, Tenggarong (foto sekitar tahun 1930-1940an). |
Keadaan administratif ini bertahan hingga tahun 1942, ketika Belanda menyerah atas pendudukan Jepang di Hindia Belanda. Kemudian, pada masa berikutnya, wilaya administrasi Kepulauan Hindia berubah-ubah seiring bergantinya pemerintahan; dari tangan penjajah Jepang lalu ke masa kemedekaan Indonesia hingga sekarang.
* * *
Sumber:
Wikipedia Bahasa Indonesia
Wikipedia Bahasa Belanda
hikmawansp.wordpress.com
sayoman.wordpress.com
Demikianlah Artikel Pembagian Administratif Hindia Belanda
Sekianlah artikel Pembagian Administratif Hindia Belanda kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel Pembagian Administratif Hindia Belanda dengan alamat link https://vandermormir.blogspot.com/2016/04/pembagian-administratif-hindia-belanda.html
0 Response to "Pembagian Administratif Hindia Belanda"
Post a Comment