Kompleks Bangunan Keraton Surakarta

Kompleks Bangunan Keraton Surakarta - Hallo sahabat moormiir, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Kompleks Bangunan Keraton Surakarta, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Knowledge and Information, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Kompleks Bangunan Keraton Surakarta
link : Kompleks Bangunan Keraton Surakarta

Baca juga


Kompleks Bangunan Keraton Surakarta


Keraton Surakarta Hadiningrat (Surakarta Hadiningrat Royal Palace) adalah istana resmi Kasunanan Surakarta. Terletak di dalam lingkungan Kelurahan Baluwarti, Kecamatan Pasar Kliwon, di pusat kota Surakarta, Jawa Tengah. Istana alias keraton ini didirikan oleh Sri Susuhunan Pakubuwono II pada tahun 1744 sebagai pengganti Keraton Kartasura (sekarang terletak di Kecamatan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo) yang hancur akibat Geger Pecinan tahun 1743.

Sejarah


Keraton Surakarta Hadiningrat

Istana terakhir Kesultanan Mataram ini didirikan di Desa Sala (Solo), sebuah desa rawa-rawa dan merupakan pelabuhan kecil di tepi barat Bengawan Solo. Setelah secara resmi istana Kesultanan Mataram selesai dibangun, nama desa itu diubah menjadi Surakarta Hadiningrat. "Sura" berarti berani, dan "karta" berarti makmur; Surakarta dimaksudkan menjadi tempat dimana penghuninya adalah orang-orang yang selalu berani berjuang untuk kemakmuran negara dan bangsa. Istana ini pula menjadi saksi bisu penyerahan kedaulatan Kesultanan Mataram oleh Sri Susuhunan Pakubuwono II kepada VOC pada tahun 1749. Setelah Perjanjian Giyanti tahun 1755, keraton ini kemudian dijadikan istana resmi bagi Kasunanan Surakarta. 

Kompleks bangunan keraton ini masih berfungsi sebagai tempat tinggal Sri Sunan dan rumah tangga istananya yang masih menjalankan tradisi kerajaan hingga saat ini. Keraton ini kini juga merupakan salah satu objek wisata di Surakarta. Sebagian kompleks keraton merupakan museum yang menyimpan berbagai koleksi milik kera
jaan, termasuk berbagai pemberian dari raja-raja Eropa, replika pusaka keraton, dan gamelan. Walaupun saat ini keraton menjadi sebuah situs pariwisata, namun tak semua bagian keraton terbuka untuk umum. Dari segi bangunannya, keraton ini merupakan contoh arsitektur istana Jawa tradisional yang terbaik.


Denah kompleks Keraton Surakarta
(termasuk kawasan Kelurahan Baluwarti dan Alun-Alun Lor-Kidul)

Keraton Surakarta merupakan salah satu bangunan yang eksotis di zamannya. Salah satu arsitek istana ini adalah KGPH. Mangkubumi (kelak bergelar Sri Sultan Hamengkubuwono I) yang juga menjadi arsitek utama Keraton Yogyakarta. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika pola dasar tata ruang kedua keraton tersebut (Yogyakarta dan Surakarta) banyak memiliki persamaan umum. Keraton Surakarta sebagaimana yang dapat disaksikan sekarang ini tidaklah dibangun serentak pada 1744-1745, namun dibangun secara bertahap oleh para Sri Sunan yang bertahta dengan mempertahankan pola dasar tata ruang yang tetap sama dengan awalnya. Pembangunan dan restorasi secara besar-besaran dilakukan oleh Sri Susuhunan Pakubuwono X yang bertahta tahun 1893-1939, dan restorasi terbaru diselesaikan pada akhir tahun 2016 semasa pemerintahan Sri Susuhunan Pakubuwono XIII. Sebagian besar keraton ini bernuansa warna putih dan biru dengan arsitekrur gaya campuran Jawa-Eropa.

Secara umum pembagian keraton meliputi: 

Kompleks Alun-Alun Lor/Utara, Kompleks Sasana Sumewa, Kompleks Siti Hinggil Lor/Utara, Kompleks Kamandungan Lor/Utara, Kompleks Sri Manganti Lor/Utara, Kompleks Kedaton, Kompleks Kamagangan, Kompleks Sri Manganti Kidul/Selatan dan Kamandungan Kidul/Selatan, serta Kompleks Siti Hinggil Kidul dan Alun-Alun Kidul.

Makam Ki Gede Sala (lurah Desa Sala saat tanah desanya dibeli Sri Susuhunan Pakubuwono II untuk mendirikan Keraton Surakarta) di kawasan Baluwarti
Dalem Sasana Mulya yang merupakan salah satu dalem (rumah) pangeran di kawasan Baluwarti
.
Kompleks keraton ini juga dikelilingi dengan Baluwarti, sebuah dinding pertahanan (benteng) dengan tinggi sekitar tiga sampai lima meter dan tebal sekitar satu meter tanpa anjungan. Dinding ini melingkungi sebuah daerah dengan bentuk persegi panjang. Daerah itu berukuran lebar sekitar lima ratus meter dan panjang sekitar tujuh ratus meter. Kompleks keraton yang berada di dalam dinding adalah dari Kamandungan Lor/Utara sampai Kamandungan Kidul/Selatan. Kedua kompleks Siti Hinggil dan Alun-Alun tidak dilingkungi tembok pertahanan ini.


Kompleks Keraton


Tugu Pemandengan

Titik akses utama menuju Keraton Surakarta dari arah utara sesungguhnya adalah Tugu Pemandengan (Pamandengan). Tugu ini terletak tepat di depan Balaikota Surakarta dan tidak jauh dari Pasar Gede Harjonagoro, sekitar 300 meter ke arah utara dari gerbang utama keraton yang disebut Gapura Gladag.

Tugu Pamandengan

Tugu Pamandengan berfungsi sebagai titik fokus pandangan batin Sri Sunan kepada Allah SWT ketika beliau lenggah sinewaka di sebuah tempat yang ditinggikan, di Bangsal Pagelaran Sasana Sumewa. Memfokuskan pandangan pada Tugu Pamandengan terutama pada bagian puncaknya, dipercaya sebagai salah satu sarana meditasi yang sangat kuat bagi Sri Sunan. Pada era moderen ini Tugu Pamandengan juga berfungsi sebagai titik nol mercu tanda Kota Surakarta.

Gapura Gladag

Pada awalnya, Gapura Gladag adalah pintu masuk wilayah Keraton Surakarta dari arah utara yang didesain dalam bentuk gapura melengkung dan dibuat dari besi yang dihias berbagai gambar binatang buruan. Dari perkembangannya hingga saat ini, Gapura Gladag tersebut akhirnya berbentuk gapura candi bentar dengan ornamen hias yang berjumlah 48 dan jeruji tembok yang juga berjumlah 48. Hal ini merupakan angka peringatan ulang tahun Sri Susuhunan Pakubuwono X pada saat pembangunan gapura ini. Didepan Gapura Gladag, terdapat dua arca raksasa kembar di kiri dan kanan jalan yang disebut Reca Pandita Yaksa. Di sisi kanan-kiri Jalan Pakubuwono (yang membelah Gapura Gladag) ini ditanami beberapa pohon beringin.
. .
Gapura Gladag
. .
Pada zaman dahulu, space area disekitar Gapura Gladag dan gapura ke dua dipakai sebagai tempat menyimpan binatang hasil buruan sebelum digladag (dipaksa) dan disembelih ditempat penyembelihan. Wujud arsitektur pada kawasan Gladag ini adalah mengandung arti simbolis ajaran langkah pertama dalam usaha seseorang untuk mencapai tujuan ke arah Manunggaling Kawula kalawan Gusti (Bersatunya Rakyat dengan Raja)

Pangurakan adalah merupakan bagian ruang antara gapura ke dua dan gapura ke tiga. Tempat ini berfungsi sebagai tempat penyembelihan (ngurak) binatang hasil buruan, dimana daging tersebut kemudian dibagikan secara adil kepada para putra sentana dan abdi dalem yang saat itu berada di lokasi penyembelihan. Di tepi jalan daerah Pangurakan terdapat bangunan bangsal yang diberi nama Bangsal Pangurakan. Bangsal ini adalah bangunan tempat menyembelih binatang buruan. Selain terdapat gambar api berkobar dan gambar matahari, di dalam Bangsal Pangurakan. Itu juga terdapat dua  batu centeng besar berbentuk persegi, dengan lubang persegi ditengahnya, yang berfungsi sebagai tempat membakar dupa pada saat mengadakan upacara penyembelihan hewan buruan.

Alun-Alun Lor (Utara) 

Alun-alun merupakan sebuah tanah lapang yang berfungsi sebagai lokasi tempat berkumpulnya rakyat banyak. Pada saat ini, ruang luas rata berpasir dari Alun-Alun Lor telah diganti dengan ruang rata yang berumput. Bahkan, tepat di tengah alun-alun membujur dari utara ke selatan sampai Pagelaran, dibuat jalur jalan pedestrian yang diperkuat oleh tanaman palem raja. Di pinggir alun-alun juga ditanami sejumlah pohon beringin. 
.
Alun-Alun Lor
 .
Di tengah-tengah alun alun terdapat dua batang pohon beringin (Ficus benjamina; Famili Moraceae) yang diberi pagar. Kedua batang pohon ini disebut Waringin Sengkeran (harfiah: beringin yang dikurung) yang diberi nama Dewadaru dan Jayadaru. Di sebelah barat alun-alun utara berdiri Mesjid Ageng (Masjid Agung) Surakarta. Masjid raya ini merupakan masjid resmi kerajaan dan didirikan oleh Sri Susuhunan Pakubuwono III pada tahun 1750 (Kasunanan Surakarta merupakan kerajaan Islam).
,.
Di sekitar alun-alun, di sebelah utara terdapat bangsal kecil (balai) yang disebut Bale Pewatangan dan Bale Pekapalan. Tempat ini pada zaman dahulu dipergunakan oleh prajurit dan kudanya untuk beristiahat setelah berlatih. Beberapa bale lain terdapat disekitar alun-alun yang dipergunakan untuk karyawan-karyawan keraton menempatkan kudanya. Tempat menambatkan kuda sudah tidak dapat dijumpai lagi saat ini, semenjak digantikannya kuda dengan moda transportasi moderen.
..
Bagian dalam bangunan Bale Pekapalan
Gapura Klewer
 .
Bale tersebut diantaranya adalah Gedhong Kiwa, Keparak Kiwa, Jeksa, Penumping, Paseban Pemajegan, Kadipaten Anom, Bumi Gede, Keparak Tengen, Gedhong Tengen, dan Bangsal Patalon. Bangunan-bangunan ini sekarang dipergunakan sebagai kios penjual cinderamata.

Di sebelah barat daya Alun-Alun Lor (ke arah Pasar Klewer) dan sebelah timur laut (ke arah Pasar Beteng dan Pusat Grosir Solo) terdapat 2 gapura besar yang berfungsi sebagai pintu keluar dari Alun-Alun Lor yang bernama Gapura Batangan dan Gapura Klewer.

Masjid Agung Surakarta 

Masjid Agung Surakarta pada masa lalu merupakan masjid agung kerajaan. Semua pegawai pada masjid agung merupakan abdi dalem keraton, dengan gelar serta berbagai pangkat dari keraton misalnya Kanjeng Raden Tumenggung Penghulu Tafsiranom (penghulu) dan Lurah Muadzin. Masjid Agung dibangun oleh Sri Susuhunan Pakubuwono III tahun 1763 dan selesai pada tahun 1768.
.
Gapura Utama Masjid Agung
Serambi dan menara Masjid Agung
.
Masjid ini merupakan masjid dengan kategori Masjid Jami', yaitu masjid yang digunakan untuk sholat lima waktu dan sholat Jumat. Dengan status sebagai masjid utama kerajaan karena segala keperluan masjid disediakan oleh kerajaan dan masjid juga dipergunakan untuk upacara keagamaan yang diselenggarakan kerajaan. Masjid Agung Surakarta memiliki luas 19.180 meter persegi yang dipisahkan dari lingkungan sekitar dengan tembok pagar keliling setinggi 3,25 meter. Bangunan Masjid Agung Surakarta secara keseluruhan berupa bangunan tajug yang beratap tumpang tiga dan berpuncak mastaka. Di halaman timur masjid ini terdapat dua Bangsal Pagongan (Pagongan Lor dan Pagongan Kidul) yang digunakan untuk menempatkan sepasang gamelan sekati (Kyai Gunturmadu dan Kyai Guntursari) serta menara adzan yang desain arsitekturnya menyerupai Qutb Minar di India.

Kompleks Pagelaran Sasana Sumewa 

Dimulai dari kawasan di sebelah timur dan barat dari Waringin Gung dan Waringin Binatur, dimana pada terdapat tiga meriam yang ditempatkan dua di sebelah timur Waringin Gung dan yang satu berada di sebelah barat Waringin Binatur. Adapun meriam-meriam itu sekarang sudah dipindah lokasinya didekat pintu masuk Kori Wijil ke  arah Siti Hinggil. Ketiga meriam itu memiliki nama dan arti simbolisnya masing masing (Kyai Pancawara, Kyai Syuhbratsa, Kyai Segarawana).
.
Pagelaran Sasana Sumewa


Tugu Tomaswarsa di depan Pagelaran Sasana Sumewa

Pagelaran Sasana Sumewa sendiri adalah bangunan yang berada di sebelah selatan Waringin Gung dan Waringin Binatur. Bangunan besar ini memiliki citra konstruksi atap kampung tridenta (atap kampung berjajar tiga dengan bagian tengah lebih kecil) yang disangga oleh kolom tembok persegi berjumlah 48 buah. Atap dan langit-langit bangunan ini terbuat dari bahan seng. Sedangkan lantai bangunan ini ditinggikan dan di plester. 

Sesuai dengan namanya (pagelaran = area terbuka; sasana = tempat = rumah; sumewa = menghadap), fungsi Pagelaran Sasana Sumewa pada zaman dulu adalah sebagai tempat menghadap Pepatih Dalem, para Bupati, dan atau Bupati Anom kebawah golongan luar. Kegiatan menghadap Sri Sunan tersebut biasanya dilakukan pada saat-saat seperti hari besar Bagda Mulud (yang diselenggarakan tiga kali dalam setahun), ulang tahun Sri Sunan, peringatan naik tahta, dan sebagainya.
..
Salah satu meriam di halaman Pagelaran Sasana Sumewa
..
Di sebelah timur meriam Kyai Pancawara terdapat Tugu Tomaswarsa, yaitu tugu peringatan 200 tahun berdirinya Kasunanan Surakarta. Di sebelah barat Tugu Tomaswarsa terdapat bangunan bangsal dengan konstruksi atap limasan terbuka, yang dinamakan Bangsal Pemandengan, yaitu tempat menyediakan Kuda Pandengan (kuda yang khusus untuk dinaiki Sri Sunan). Pada bangsal tersebut untuk bagian timur diberi peralatan simbol kerajaan dan yang berada di sebelah barat diberi peralatan khusus keprajuritan (sekarang sudah tidak ada). 

Di sebelah timur dan barat Bangsal Pamandengan terdapat dua buah bangsal dengan konstruksi limasan terbuka dan kolom pilar bulat yang diberi nama Bangsal Paretan. Kedua bangsal tersebut berfungsi sebagai bangsal untuk menyiapkan kendaraan Kereta Kerajaan pada saat Sri Sunan akan mengadakan tinjauan lapangan.  
..
Bangsal Pacikeran di sisi barat Pagelaran Sasana Sumewa
..
Pada zaman dulu, di sebelah utara Bangsal Paretan terdapat Wantilan atau tambatan gajah yang terbuat dari kayu jati besar bulat. Tambatan ini biasanya digunakan untuk menambatkan gajah pada peringatan Grebeg, yang diselenggarakan sebanyak tiga kali dalam setahun. Pada perayaan Grebeg tersebut biasanya terdapat dua ekor gajah yang diberi atribut pelana merah, dan pada bagian mukanya dihias hingga menyerupai rupa gajah dalam ceritera wayang kulit. 

Masih di sekitar Bangsal Paretan, di sebelah poros Utara-Timur bagian timur, terdapat Bangsal Patalon, yang pada zaman dulu digunakan sebagai tempat membunyikan gamelan Kyai Singakrungu pada setiap hari Sabtu sore, mengiringi latihan perang yang disebut Watangan.
 .
Bagian dalam Pagelaran Sasana Sumewa
Bangsal Pangrawit
..
Bangsal Pangrawit, adalah sebuah semi-bangunan kecil yang berada di tengah Pendapa Sasana Sumewa. Berdasarkan legenda, Bangsal Pangrawit tersebut adalah merupakan pusaka peninggalan dari Kerajaan Majapahit, dimana pada saat Keraton Majapahit hancur menjadi telaga, yang tertinggal hanya dua bangsal, yaitu Bangsal Pangrawit dan Bangsal Pangapit, yang kemudian keduanya dibawa ke keraton Kesultanan Demak Bintara, yang kemudian secara turun temurun berada di Keraton Surakarta. Dilihat secara detail fisiknya, wujud bangsal tersebut sepertinya telah dibuat baru kembali, yang artinya sudah bukan asli peninggalan dari Majapahit. Sementara bagian asli dari pusaka peninggalan Majapahit yang masih tersisa adalah sebuah batu persegi yang terletak di lantai tengah bangsal, yaitu tempat duduk Sri Sunan.

Kompleks Siti Hinggil Lor (Utara)

Siti Hinggil Binata Warata (Siti Hinggil Lor) merupakan suatu kompleks yang dibangun di atas tanah yang lebih tinggi dari sekitarnya. Kompleks ini memiliki dua gerbang, satu disebelah utara yang disebut dengan Kori Wijil dan satu disebelah selatan yang disebut dengan Kori Renteng. Pada tangga Siti Hinggil sebelah utara terdapat sebuah batu yang digunakan sebagai tempat pemenggalan kepala Trunojoyo yang disebut dengan Selo Pamecat.
..
Tratag Siti Hinggil Lor
Bangsal Manguntur Tangkil
..
Bangunan utama di kompleks Siti Hinggil adalah Sasana Sewayana yang digunakan para pembesar dalam menghadiri upacara kerajaan. Di halaman sisi utara Sasana Sewayana terdapat delapan pucuk meriam dari barat ke timur masing-masing adalah Kyai Bringsing, Kyai Bagus, Kyai Nakula, Kyai Kumbarawa, Kyai Kumbarawi, Kyai Sadewa, Kyai Alus, dan Kyai Mahesa Kumali atau Kyai Kadal Buntung. 

Di dalam bangunan Sasana Sewayana, terdapat sebuah struktur semi-bangunan yang disebut Bangsal Manguntur Tangkil. Bangsal ini berfungsi sebagai tempat singgasana tahta Sri Sunan saat menerima para pimpinan. Bangsal ini berfungsi sebagai tempat duduk Sri Sunan saat menerima para pimpinan. Di tengah Bangsal Manguntur Tangkil terdapat batu persegi yang ditanam rata dengan tegel lantai (tetapi masih kelihatan), dimana batu ini merupakan batu pusaka peninggalan dari Kerajaan Jenggala yang pada zaman itu merupakan tempat duduk Prabu Suryawisesa (Panji Hinu Kertapati).
..

Bagian dalam Tratag Siti Hinggil Lor
(Sasana Sewayana)
Penobatan Sri Susuhunan Pakubuwono XIII pada tahun 2004
di Bangsal Manguntur Tangkil
..
Kemudian di sebelah selatan terdapat Bangsal Witana, tempat persemayaman pusaka kebesaran kerajaan selama berlangsungnya upacara. Bangsal yang terakhir ini memiliki suatu bangunan kecil di tengah-tengahnya yang disebut dengan Krobongan Bale Manguneng, tempat persemayaman pusaka keraton Kangjeng Nyai Setomi, sebuah meriam yang konon dirampas oleh tentara Kesultanan Mataram dari VOC saat menyerbu Batavia. Pada awalnya, bangsal ini dibuat oleh Sri Susuhunan Pakubuwono III, yang kemudian dibangun kembali oleh Sri Susuhunan  Pakubuwono IX yang ditandai oleh candrasengkala yang berbunyi Inggiling Siti Hinggil Kaesti Ratu, yang menunjuk tahun 1810 Jawa. 


Bangsal Witana dengan Krobongan Bale Manguneng
(tempat disemayamkannya pusaka Meriam Nyai Setomi)
 
Bale Bang di sebelah barat Bangsal Witana sebagai tempat penyimpanan gamelan
..
Di sebelah timur Sasana Sewayana dan Witana, terdapat dua bangunan bangsal, yaitu Bangsal Gandhekan Tengen di bagian utara yang digunakan untuk tempat memukul Gamelan Kodhok Ngorek, dan Bangsal Angun-angun di bagian selatan sebagai tempat untuk memukul Gamelan Munggang. 


Di sebelah baratnya berdiri dua bangunan, masing-masing adalah Bangsal Gandhekan Kiwa di sisi utara yang digunakan sebagai tempat menyiapkan sarana pesta dan upacara, serta Bale Bang di sisi selatan yang digunakan sebagai tempat menyimpan gamelan. Sisi luar timur-selatan-barat kompleks Siti Hinggil Lor merupakan jalan umum yang dapat dilalui oleh masyarakat yang disebut dengan Supit Urang (harfiah = capit udang).


Bangsal Gandhekan Tengen
Bangsal Angun-Angun
..
Kompleks Kamandungan Lor (Utara)

Kori Brajanala (Kori Brojonolo) atau Kori Gapit merupakan pintu gerbang masuk utama dari arah utara ke dalam halaman Kamandungan Lor. Gerbang ini sekaligus menjadi gerbang cepuri (kompleks dalam istana yang dilingkungi oleh dinding istana yang disebut baluwarti) yang menghubungkan Jalan Supit Urang dengan halaman dalam istana dan Kawasan Baluwarti. Gerbang ini dibangun oleh Sri Susuhunan Pakubuwono III dengan gaya Semar Tinandu. Semar Tinandu merupakan gerbang yang memiliki atap trapesium, seperti joglo, tanpa tiang dan hanya ditopang oleh dinding yang menjadi pemisah satu kompleks dengan kompleks berikutnya. 

Di sisi kanan dan kiri (barat dan timur) dari Kori Brajanala sebelah dalam terdapat Bangsal Wisamarta Tengen dan Bangsal Wisamarta Kiwa, sementara di sisi luarnya (menghadap Jalan Supit Urang) terdapat Bangsal Brajanala Tengen dan Bangsal Brajanala Kiwa. Masing-masing tempat ini berfungsi sebagai lokasi jaga pengawal istana. Selain itu di timur gerbang ini terdapat menara lonceng, dengan lonceng besarnya yang disebut Jam Panggung. Di bagian atas pintu gerbang terdapat sengkalan memet berupa kulit sapi persegi, yang diartikan sebagai Lulang Sapi Siji atau Wolu Ilang Sapi Siji, yang dibaca sebagai tahun 1708 Jawa (1782 Masehi) yang merupakan tahun pembangunan Kori Brajanala oleh Sri Susuhunan Pakubuwono III. Dari halaman ini pula dapat dilihat sebuah menara megah yang disebut dengan Panggung Sangga Buwana (Panggung Songgo Buwono/Menara Songgo Buwono) yang terletak di kompleks berikutnya, Kompleks Sri Manganti Lor.
.
Kori Brajanala Lor dengan Jam Panggung dan dua Bangsal Wisamarta
Kori Kamandungan Lor dengan latar belakang Panggung Sangga Buwana
.
Di tengah-tengah kompleks ini hanya terdapat halaman kosong, yang juga merupakan jalan yang biasa dilalui masyarakat umum. Bangunan yang terdapat dalam kompleks ini hanya di bagian tepi halaman. Di sisi timur dan barat halaman ini terdapat barak prajurit, yang pada zaman dulu untuk barak sisi timur digunakan oleh prajurit Kasunanan Surakarta dan barak sisi barat digunakan oleh prajurit KNIL (pada masa Hindia Belanda). Sekarang bangunan-bangunan tersebut berfungsi sebagai kantor-kantor. Di masing-masing sisi halaman Kamandungan Lor terdapat dua gerbang untuk menuju ke kawasan dalam Baluwarti, masing-masing adalah Kori Gapit Wetan dan Kori Gapit Kulon.

Bangunan utama di kompleks ini adalah Kori Kamandungan Lor/Utara (atau disebut juga Balerata), sebuah gerbang dengan teras terbuka yang bagian atasnya dihiasi dengan ukiran besar berwarna biru-putih (dibuat pada masa pemerintahan Sri Susuhunan Pakubuwono X). Di bagian atas gerbang Balerata terdapat gambar bendera merah putih dan bermacam senjata perang, di mana di tengahnya terdapat gambar daun kapas, dan di atasnya terdapat gambar mahkota, gambar tersebut secara keseluruhan disebut Sri Makutha Raja, yang merupakan simbol dari keraton Jawa tempo dulu. Pada dindingnya juga dipasang beberapa kaca pengilon, yaitu sebuah cermin berukuran besar. Di depan sisi kanan dan kiri gerbang yang bernuansa warna biru dan putih ini terdapat dua arca Dwarapala yang dibuat pada tahun 1930.
 .
Kori Gapit Wetan menuju pintu masuk utama bagi wisatawan
Mobil kuno milik Sri Susuhunan Pakubuwono XII di Balerata
Kori Talang Paten dan Panggung Indra di sisi barat
Garasi kereta di sisi utara Kori Talang Paten

Di sebelah kiri dan kanan Balerata terdapat los-los sebagai tempat parkir kereta-kereta dan mobil-mobil yang akan dipakai oleh Sri Sunan. Sekarang tempat ini berfungsi sebagai Museum Kereta Keraton. Los-los kereta milik keraton juga terdapat di sebelah barat halaman Kamandungan Lor (melewati Kori Gapit Kulon), tepatnya di sisi utara Kori Talang Paten dan menara pengawas yang disebut Panggung Indra (Panggung Indro/Menara Indro). Kori Talang Paten sendiri merupakan sebuah gerbang sekunder yang terletak di sebelah barat halaman Kamandungan Lor, yang merupakan salah satu jalan masuk menuju Sasana Narendra, tempat kediaman Sri Sunan yang terletak tidak jauh dari Kompleks Karaton Kilen (kawasan tertutup di sebelah barat Kompleks Kedaton).

Kompleks Sri Manganti Lor (Utara)

Sri Manganti adalah suatu kawasan yang terletak di sebelah selatan Kamandungan. Sri Mangati adalah bentukan kata dari sri, yang berarti ratu, dan manganti, yang berarti menunggu. Sehingga dari namanya, tempat tersebut adalah tempat tunggu yang digunakan Sri Sunan untuk menyambut tamu agungnya, atau juga dapat diartikan sebagai tempat tunggu bagi tamu, sebelum dipersilakan masuk ke dalam Karaton Dalem. Untuk memasuki kompleks ini dari sisi utara harus melalui sebuah pintu gerbang yang disebut dengan Kori Kamandungan Lor. Di depan sisi kanan dan kiri gerbang yang bernuansa warna biru dan putih ini terdapat dua arca Dwarapala yang dibuat pada tahun 1930.

Halaman Sri Manganti dapat dicapai dari Kori Kamandungan Lor menuju ke arah selatan. Pada bagian barat halaman Sri Mangati ini, terdapat bangunan besar menghadap ke timur yang dinamakan Bangsal Marakata atau Smarakata, dimana nama lengkapnya adalah Bangsal Asmarakata. Kata asmarakata sendiri memiliki arti sebagai dawuh kang nengsemake atau perkataan yang menyenangkan.


Kori Sri Manganti Lor dan Panggung Sangga Buwana
Bangsal Marcukundha
Bangsal Marakata

Bangunan bangsal tersebut berfungsi sebagai tempat para Abdi Dalem Bupati Lebet yang akan menghadap Sri Sunan, dan juga sebagai tempat untuk pemberian hadiah atau penghargaan bagi Para Abdi Dalem Lebet, serta untuk mewisuda para Abdi Dalem Panewu Mantri. Di bagaian timur halaman Sri Manganti, terdapat bangunan besar menghadap ke barat (berhadapan dengan Bangsal Smarakata), yang diberi nama Bangsal Marcukundha. Bangsal ini adalah tempat para opsir prajurit dalem saat menghadap Sri Sunan. Sekarang tempat ini untuk tempat belajar-mengajar Pawiyatan Pambiwara (sekolah pambiwara/pranatacara/pembawa acara milik keraton) serta untuk menyimpan Krobongan Madirengga, sebuah tempat untuk upacara sunat/khitan para putra Sri Sunan. Selanjutnya, di sebelah timur bangunan tersebut terdapat sebuah ruang yang menghadap ke barat, yang digunakan sebagai Kantor Wedana.

Di sisi barat daya Bangsal Marcukundha terdapat sebuah menara bersegi delapan yang disebut dengan Panggung Sangga Buwana. Menara yang memiliki tinggi sekitar tiga puluhan meter ini sebenarnya terletak di dua halaman sekaligus, halaman Sri Manganti dan halaman Kedaton. Namun demikian pintu utamanya terletak di halaman Kedaton. Panggung Sangga Buwana didirikan tahun 1777 saat pemerintahan Pakubuwono III (1749-1788). Pembangun Panggung Sangga Buwana adalah Kyai Baturetna, seorang tukang batu, dan Kyai Nayawreksa, seorang tukang kayu (kalang) saat itu. Di atas atap menara terdapat gambar seseorang naik seekor naga yang sekaligus sebagai sengkala Naga Muluk Tinitihan Janma. Arti sengkala tersebut adalah 1708, Tahun Jawa pembuatan menara.
.
Para penari bedhaya di Bangsal Marakata 
Krobongan Madirengga (tempat duduk putra Sri Sunan ketika upacara khitan)
di Bangsal Marcukundha

Menara Panggung Sangga Buwana berdiri dengan tinggi 30 meter, bertingkat 4 dengan model atap tutup saji bersudut 8. Menara tersebut berfungsi juga sebagai tempat pengawasan jauh atau uit kijk guna mengamati lingkungan sekitar keraton khususnya dari Supit Urang dan Benteng Vastenburg. Salah satu fungsi ritual Panggung Sangga Buwana adalah tempat meditasi Sri Sunan saat ingin melakukan kontak batin dengan penguasa Laut Selatan, Kangjeng Ratu Kidul/Kangjeng Ratu Kencana Sari.

Kompleks Kedaton

Pelataran Kedaton, merupakan bagian utama dari keseluruhan bangunan dalam Keraton. Dari timur ke barat, kita akan melihat beberapa bangunan Jawa. Salah satunya adalah Maligi, sebuah pendapa berukuran kecil berbentuk limasan jubang, tidak berserambi, bertiang delapan, yang didirikan di tahun 1882. Tempat ini dipisahkan dengan Kompleks Sri Manganti Lor dengan Kori Sri Manganti Lor. Gerbang yang dibangun oleh Sri Susuhunan Pakubuwono IV pada tahun 1792 ini disebut juga dengan Kori Ageng. Bangunan ini memiliki kaitan erat dengan Pangung Sangga Buwana secara filosofis. Pintu yang memiliki gaya Semar Tinandu ini digunakan untuk menunggu tamu-tamu resmi kerajaan. 


Kori Sri Manganti Lor dilihat dari halaman Kedaton
(tampak pula selasar Nguntarasana dan pintu masuk Panggung Sangga Buwana di sisi timur)

Gedhong Langen Katong

Bagian kanan dan kiri pintu ini dipasang beberapa cermin besar dan dihiasi oleh ragam hias berwarna putih-biru di atas pintu gerbang. Di sisi barat gerbang ini terdapat bangunan Nguntarasana (ruang tunggu para pangeran sebelum menghadap Sri Sunan), Gedhong Langen Katong (bangunan bertingkat tempat Sri Sunan berkarya), dan Kantor Sasana Wilapa (Kesekertariatan Keraton).

Halaman utama Kompleks Kedaton ini dialasi dengan pasir hitam dari pantai selatan dan ditumbuhi oleh 72 batang pohon sawo kecik (Manilkara kauki; Famili Sapotaceae) yang ditanam atas prakarsa Sri Susuhunan Pakubuwono IX. Pohon sawo kecik mengandung makna filosofis, sarwo becik, yang berarti serba baik. Selain itu halaman ini juga dihiasi dengan patung-patung bergaya Eropa. Halaman utama Kompleks Kedaton dikelilingi beberapa bangunan utama, diantaranya adalah Sasana Sewaka, Bangsal Maligi, Dalem Ageng Prabasuyasa atau Dhatulaya, Sasana Handrawina, dan Panggung Sangga Buwana. 
.
Para pangeran dalam sebuah kesempatan di Nguntarasana
Halaman Kedaton yang dilapisi pasir halus dan ditanami pohon sawo kecik
(tampak di belakang adalah Bangsal Pradangga dan Bangsal Musik)
Bangsal Maligi yang terletak di depan Sasana Sewaka
.
Sasana Sewaka merupakan pendapa utama dari keseluruhan pendapa yang terdapat di Keraton Surakarta. Bangunan ini aslinya merupakan bangunan peninggalan pendapa Keraton Kartasura. Pada masa pemerintahan Sri Susuhunan Pakubuwono XII tepatnya pada tahun 1985 tempat ini (bersama dengan Bangsal Maligi, Dalem Ageng Prabasuyasa, dan Sasana Handrawina) pernah mengalami musibah kebakaran. Di bangunan ini pula Sri Sunan bertahta dalam upacara-upacara kebesaran kerajaan seperti tingalandalem jumenengan (peringatan hari kenaikan tahta) dan ulang tahun Sri Sunan. Pendapa besar ini dikelilingi oleh selasar pada masing-masing sisinya yang disebut Paningrat. 

Pada selasar bagian selatan terdapat dua rangkaian gamelan yaitu Kyai Kadukmanis dan Kyai Manisrengga. Di tengah-tengah bangunan terdapat lampu kristal rasaksa yang disebut Kyai Remeng. Pada zaman dahulu, Sri Sunan berkenan lenggah sinewaka (duduk mengheningkan cipta) di Sasana Sewaka setiap hari Senin dan Kamis.


Bagian dalam bangunan Pendapa Sasana Sewaka

Selasar pringgitan Sasana Parasdya 

Upacara peletakan batu pertama pembangunan kembali beberapa bangunan Kompleks Kedaton oleh Sri Susuhunan Pakubuwono XII pada tahun 1985

Sebagai pendapa utama, fungsi Sasana Sewaka ini bersifat khusus, karena fungsi kegiatannya selalu melibatkan Sri Sunan dan para Abdi dalem tingkatan tertinggi; sebagai pusat upacara, adat dan keagamaan. Menurut kepercayaan, Sasana Sewaka ini mempunyai kekuatan magis. Konon kepercayaan tersebut terbukti pada saat Presiden Soekarno hendak berkunjung menghadap Sri Susuhunan Pakubuwono XII pada tahun 1945. Presiden yang akan memasuki Pendapa Sasana Sewaka, tiba-tiba Presiden menolak karena saat itu Presiden merasakan suatu daya gaib sehingga terpaksa Presiden Soekarno diterima oleh Sri Sunan di ruang lain, yaitu di Sasana Handrawina.

Di sebelah barat bangunan Sasana Sewaka terdapat Sasana Parasdya, sebuah pringgitan atau tempat menggelar pertunjukan wayang kulit. Pada masa Sri Susuhunan Pakubuwono X, tempat ini digunakan untuk menerima tamu tidak resmi. Di sebelah barat Sasana Parasdya terdapat Dalem Ageng Prabasuyasa (praba = cahaya, suyasa = rumah/kediaman). Tempat ini merupakan bangunan inti dan terpenting dari seluruh bangunan yang ada di Keraton Surakarta. 

Di Dalem Ageng Prabasuyasa inilah disemayamkan pusaka-pusaka kebesaran dan juga singgasana tahta (Dhampar Kencana) Sri Sunan serta regalia yang menjadi simbol kerajaan. Di lokasi ini pula Sri Sunan bersumpah ketika mulai bertahta sebelum upacara pemahkotaan dihadapan rakyat dan tamu undangan di Siti Hinggil Lor. Di sisi timur Sasana Sewaka terdapat Bangsal Maligi yang dibangun pada masa pemerintahan Sri Susuhunan Pakubuwono IX pada tahun 1882, berfungsi sebagai tempat mengkhitankan putra Sri Sunan dari permaisuri.


Petanen Gading (sebelah kiri) di dalam Dalem Ageng Prabasuyasa
Sri Susuhunan Pakubuwono XII menunjukkan salah satu keris pusaka kepada Presiden Soeharto di Dalem Ageng Prabasuyasa

Bangunan berikutnya adalah Sasana Handrawina. Bangunan ini didirikan pada masa Sri Susuhunan Pakubuwono V. Awalnya orang menyebut tempat ini Pendapa Ijo, karena dahulu bercat hijau. Tempat ini digunakan sebagai tempat perjamuan makan resmi kerajaan. Kini bangunan ini biasa digunakan sebagi tempat seminar maupun gala dinner tamu asing yang datang ke kota Surakarta. 

Di tempat ini pula Sri Sunan menjamu para raja-raja mancanegara yang berkunjung ke Surakarta, termasuk Raja Rama V dari Thailand (tahun 1896), Ratu Juliana dari Belanda (tahun 1982), dan Raja Norodom Sihanouk dari Kamboja (tahun 1984). Di depan Sasana Handrawina terdapat tiga bangunan serupa bangsal yang berukuran kecil yaitu Bangsal Bujana (tempat menjamu pengikut tamu agung), Bangsal Pradangga Lor (tempat memukul gamelan), dan Bangsal Pradangga Kidul atau Bangsal Musik (tempat memainkan musik moderen atau orkes). Pada bagian selatan Sasana Handrawina terdapat bangunan dua lantai yang disebut Sasana Pustaka dan Drawisana, yaitu bangunan perpustakaan istana yang berfungsi sebagai tempat menyimpan berbagai kitab kuno dan naskah-naskah kerajaan.

Sebuah delegasi mancanegara saat menerima perjamuan di Sasana Handrawina
Sarana perjamuan di Sasana Handrawina
Sarasehan di Kompleks Sasana Pustaka

Pada sisi timur Kompleks Kedaton terdapat Museum Keraton Surakarta yang diresmikan di masa pemerintahan Sri Susuhunan Pakubuwono XII pada tahun 1963, sebagai bagian dari realisasi program pariwisata nasional pertama oleh Presiden Soekarno. Bangunan yang dijadikan museum tersebut merupakan bekas Kompleks Kadipaten atau Panti Pangarsa, sebuah kawasan kantor-kantor urusan rumah tangga istana. Kantor-kantor yang terdapat dalam Kompleks Kadipaten adalah Bale Kretarta (Kantor Pemerintah Keraton), Reksa Hardana (Kantor Kas dan Keuangan Keraton), Sitaradya (Kantor Pembesar Pemerintah Keraton), Kantor Mandrasana (Kantor Urusan Kebutuhan Harian), Bale Karta (Kantor Urusan Perbelanjaan Keraton), serta Gedhong Karyalaksana (tempat memasak). 

Pintu masuk utama kawasan museum ini terdapat di Jalan Sidikara (dari halaman Kamandungan Lor ke arah selatan melewati Kori Gapit Wetan), sekaligus menjadi pintu masuk utama bagi wisatawan umum yang ingin menuju Kompleks Kedaton. Setelah museum diresmikan, perkantoran istana berpindah di Kompleks Kamagangan sampai sekarang. Di tengah kompleks museum terdapat halaman yang di tengahnya terdapat hiasan patung-patung bergaya Eropa, batang kayu jati dari Hutan Donoloyo, dan sebuah sumur yang bernama Sumur Kakipaten (atau dikenal pula dengan sebutan Sumur Songo).
 .
Pintu masuk menuju museum keraton
Bagian dalam museum keraton
Halaman di tengah museum keraton
Patung Sri Susuhunan Pakubuwono VI
..
Sebelah barat Kompleks Kedaton merupakan tempat tertutup bagi masyarakat umum dan jarang dipublikasikan sehingga tidak banyak yang mengetahui kepastian sesungguhnya. Kawasan ini juga melingkupi kawasan Keraton Kilen (harfiah = istana barat), yang merupakan tempat tinggal resmi Sri Sunan dan keluarga kerajaan yang masih digunakan hingga sekarang. Kawasan tertutup ini terhitung mulai dari sebelah barat dan selatan Dalem Ageng Prabasuyasa. 

Dari arah Dalem Ageng Prabasuyasa, di sebelah selatan bangunan utama keraton tersebut terdapat Dalem Pakubuwanan, sebagai kediaman permaisuri tertua Sri Sunan yang bertahta. Di Dalem Pakubuwanan juga terdapat bangunan-bangunan yang berisi kamar tidur, kamar busana, ruang makan, dan ruang bersantai, termasuk diantaranya Madusuka (kamar tidur Sri Sunan) serta Madusita (ruang khusus untuk sarapan pagi Sri Sunan). 


Salah satu bagian Dalem Pakubuwanan
Kamar Gading Dalem Pakubuwanan

Pada kawasan Pakubuwanan ini juga terdapat taman asri yang disebut Nganjarsari. Di bagian selatan Pakubuwanan terdapat kompleks bangunan yang menghadap ke arah utara, dinamakan Sasana Hadi. Kompleks ini didirikan oleh Sri Susuhunan Pakubuwono IX, yang di dalamnya terdapat Pendapa Parankarsa yang berfungsi sebagai tempat bersantai Sri Sunan dan keluarganya. Sasana Hadi pernah digunakan sebagai tempat tinggal resmi Sri Susuhunan Pakubuwono XII.

Kompleks lain yang terdapat dalam kawasan tertutup ini adalah Kompleks Argapura dan Argapeni atau Gunungan, yang terletak di belakang Dalem Ageng Prabasuyasa. Kawasan bukit buatan ini dikelilingi taman yang disebut Baleretna. Fungsi dari kompleks ini adalah sebagai replika Gunung Meru (melambangkan pusat alam semesta) dalam mitologi Jawa pra-Islam dan sebagai tempat Sri Sunan dan keluarganya berlindung jika sewaktu-waktu istana diserang musuh. Di sisi barat Kompleks Argapura, terdapat Taman Sari Bandengan. Di tengah-tengah kolam buatan manusia ini berdiri bangunan semacam musala yang digunakan sebagai ruang meditasi oleh Sri Sunan dan para pangeran. 

Bangunan Argapura atau Gunungan
Bangsal Parankarsa

Di belakang tepian kolam terdapat tempat yang berisi batu meteor keramat dan tangga dari batu yang menuju ruang meditasi. Pada sisi utara kolam terdapat bangunan Banoncinawi, tempat para selir Sri Sunan. Bagian barat Kompleks Taman Sari Bandengan terdapat masjid yang bersifat pribadi yaitu Masjid Pudyasana, yang dibangun pada tahun 1912. Di masjid ini pula jenazah Sri Sunan dan permaisuri disucikan sebelum diberangkatkan ke pekamaman. 

Kawasan Karaton Kilen sendiri terletak di sebelah selatan Taman Sari Bandengan, dibangun pada masa pemerintahan Sri Susuhunan Pakubuwono X pada tahun 1904 dengan nama lengkap Karaton Kilen ing Prabasana. Kasunanan Surakarta telah diramalkan usianya hanya 200 tahun. Oleh karena itu, Sri Susuhunan Pakubuwono X, setelah mendapat petunjuk gaib, mewiradati supaya Kasunanan Surakarta dapat langgeng sepanjang masa dengan membuat Keraton Kilen, (keraton yang berada di dalam keraton). Untuk itu namanya "Keraton Kilen ing Prabasana". 


Pendapa utama Keraton Kilen ing Prabasana

Makna simbolisme pada kata prabasana adalah suatu penerang yang memancarkan kesegaran yang alami sebagai alam tumbuh-tumbuhan (tetuwuhan) terutama tanaman padi, warna hijau sebagai lambang kasih sayang atau kecintaan antar keluarga Sri Sunan dan cinta Sri Sunan sebagai pengayoman rakyat, yang merujuk pada makna dasar pertumbuhan suatu keturunan keraton yang diharapkan akan memancarkan sinar secara alami yang memiliki kekuatan dan keastian/percaya diri secara seimbang. Pada gilirannya, para Sunan yang kelak memimpin kerajaan diharapkan memiliki ketegaran dan teguh pendirian dalam menjalankan cita-cita luhur keraton. 

Bangunan-bangunan lain yang berada di kawasan bagian barat Keraton Surakarta yang tertutup ini termasuk Keputren (kediaman putri-putri Sri Sunan), Kesatriyan (kediaman putra-putra Sri Sunan), Sasana Putra, dan Sasana Narendra yang merupakan tempat tinggal resmi Sri Susuhunan Pakubuwono XIII.


Lorong di sekitar Panti Busana

Keputren terdiri dari bangunan-bangunan yang menjadi tempat tinggal putri-putri keraton. Di dalamnya termasuk bangunan Panti Rukmi, yang berfungsi sebagai kediaman para istri selir Sri Sunan. Kawasan Keputren sendiri juga dilengkapi dengan semacam pasar yang menyediakan bahan kebutuhan sehari-hari, dan semua abdi dalem yang bertugas di kawasan ini adalah abdi dalem perempuan, sehingga Keputren sangat tertutup bagi pria.

Sementara kawasan Kesatriyan yang merupakan tempat tinggal para pangeran keraton, terdiri dari tiga bangunan utama yaitu Bangsal Kesatriyan, Dalem Kesatriyan (terdiri dari bangunan Gedhong Putra Dalem, Gedhong Purwarukma, dan Gedhong Sri Katon), dan Keparak Gusti (tempat abdi dalem yang bertugas melayani para pangeran).
 .
Penganugerahan gelar kehormatan pada salah seorang bupati dari NTT
oleh Sri Susuhunan Pakubuwono XIII dan GKR. Pakubuwono di Sasana Narendra
Taman Sari Bandengan

Kompleks Sri Manganti Kidul (Selatan) dan Kompleks Magangan (Kamagangan)

Kompleks Sri Manganti Kidul dan Magangan dipisahkan dengan Kompleks Kedaton oleh Kori Sri Manganti Kidul. Kompleks ini dahulunya digunakan oleh para calon pegawai kerajaan. Di tempat ini terdapat sebuah pendapa di tengah-tengah halaman yang disebut Bangsal Magangan, yang dipugar pada masa pemerintahan Sri Susuhunan Pakubuwono XIII. Di sekeliling halaman ini selain terdapat kantor-kantor urusan istana dan kerajaan, juga ada bangunan-bangunan untuk menempatkan perlengkapan prajurit seperti keris, pedang, tombak, bedil, pistol, dan pakaian seragam prajurit untuk upacara hari-hari besar kerajaan. Sedangkan kawasan Sri Manganti Kidul/Selatan dan Kamandungan Kidul/Selatan hanyalah berupa halaman yang digunakan saat upacara pemakaman Sri Sunan maupun permaisuri. Di sekitar Kori Kamandungan Kidul adalah pelataran yang bersifat lebih terbuka untuk umum.
.
Pintu Kori Sri Manganti Kidul
Bangsal Kamagangan (Magangan)
.
Kompleks Kamandungan Kidul (Selatan)

Keluar dari area Magangan, melalui pintu Kori Gadung Mlathi/Saleko/Sembagi kita akan menjumpai pelataran Kamandungan Kidul. Kata Gadung mlathi (putih dan hijau) bermakna simbolis hubungan keraton dengan ratu penguasa laut selatan. Saleko bermakna hubungan vertikal antara hamba dengan Allah SWT. Sedangkan kata Sembagi bermakna bersatunya semua warna menjadi warna putih.
 .
Kori Kamandungan Kidul

Di sebelah selatan Kori Gadung Mlathi dapat dijumpai lagi Kori Kamandungan Kidul, pintu masuk keraton dari arah selatan yang dihiasi dengan hiasan dekoratif sarat makna, salah satunya rangkaian melati yang bermakna kesucian. Di sekitar pintu ini akan dijumpai lagi pelataran yang bersifat lebih terbuka untuk umum.

Kori Brajanala Kidul
 .
Melewati Kori Kamandungan Kidul akan dapat dijumpai Kori Brajanala kidul. Di sebelah kiri dan kanan Kori Brajanala kidul terdapat Bangsal Nyutra dan Bangsal Mangundara. Kemudian ada lagi Supit Urang Wetan dan Supit Urang Kulon yang di tengah-tengahnya terdapat lagi Siti Hinggil (kidul). Serta akhirnya sampai di Alun-Alun Kidul dan terus ke selatan keluar area keraton dari Gapura Gading.

Kompleks Siti Hinggil Kidul (Selatan) 

Kori Brajanala Kidul memberikan akses ke Siti Hinggil Kidul. Siti Hinggil Kidul adalah suatu komplek bangunan pendapa terbuka, yang dikelilingi oleh barisan pagar besi pendek, didirikan 2 Rabiulakir Wawu 1721, pada zaman dahulu terdapat 4 meriam, 2 diantaranya kemudian diambil pemerintah untuk diletakkan di AMN Magelang. Berbeda dengan kompleks Siti Hinggil Lor yang megah, komplek Siti Hingil Kidul dan bangunan maupun kori lain di sebelah selatan keraton berbentuk lebih sederhana dan dibuat dari material yang lebih sederhana pula.
 .
Bangsal Siti Hinggil Kidul
Pusaka kerbau-kerbau albino keturunan kerbau Kyai Slamet
 .
Kebalikan utara dan selatan bangunan di keraton berkaitan dengan filosofi Jawa Donya Sungsang Walik. Bangunan-bangunan di utara keraton yang megah melambangkan nafsu dan keinginan duniawi yang ada di dalam diri manusia, sementara kesederhanaan di bagian selatan melambangkan dalam perjalanan persatuan dengan Tuhan, manusia harus meninggalkan benda-benda dan keinginan duniawi. Dalam tahap spiritual ini manusia harus fokus dan berorientasi kepada Allah SWT. Kini kompleks ini digunakan untuk memelihara pusaka keraton yang berupa kerbau albino keturunan kerbau Kangjeng Kyai Slamet (yang hidup pada masa Sri Susuhunan Pakubuwono II).

Alun-Alun Kidul (Selatan) 

Disebelah selatan Siti Hinggil Kidul dapat dijumpai Alun-Alun Kidul, alun-alun ini bersifat lebih pribadi dibandingkan Alun-Alun Lor. Alun-Alun Kidul dikelilingi oleh tembok benteng yang tinggi dan disekitarnya terdapat beberapa rumah bangsawan dan juga wong cilik yang mencari nafkah di area tersebut. Pada bagian ini, terdapat sebuah bangunan yang di dalamnya disemayamkan sebuah gerbong kereta yang digunakan untuk membawa jenazah Sri Susuhunan Pakubuwono X menuju ke pemakaman Astana Pajimatan Imogiri.
,
Alun-Alun Kidul
Gerbong jenazah Sri Susuhunan Pakubuwono X
Gapura Gading
.
Tembok yang mengelilingi alun-alun mempunyai pintu gerbang di tengah ujung selatan yang bernama Gapura Gading. Gapura ini berbentuk gerbang candi bentar, seperti halnya Gapura Gladag. Pada tahun 1932, Sri Susuhunan Pakubuwono X, menambahkan pintu gerbang di sebelah selatan Gapura Gading, dengan bentuk mengikuti bentuk gerbang masuk Alun-Alun Kidul dari arah barat dan timur. Ketiga gerbang di Alun-Alun Kidul ini dikenal dengan sebutan Tri Gapurendra (tiga gapura raja), gapura terakhir yang ditambahkan oleh Sri Susuhunan Pakubuwono X inilah yang saat ini dikenal masyarakat sebagai Gapura Gading.
.
.

.
Sumber:

  • Tim yang diketuai KP. Eddy Wirabhumi (2006). Karaton Surakarta: A Look Into the Court of Surakarta Hadiningrat, Central Java. Yayasan Pawiyatan Kabudayan Karaton Surakarta. Marshall Cavendish Singapore. ISBN 981-261-226-2.
  • Dwi Ratna Nur Hajarini, Tugas Triwahyono, dan Restu Gunawan (1999). Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. ISBN 979-9335-01-9.
  • KRMH. Yasadipura (1994). Karaton Surakarta Hadiningrat, Bangunan Budaya Jawa sebagai Tuntunan Hidup/Pembangunan Budi Pakarti Kejawen. Macrodata Surakarta.
  • Foto dari koleksi pribadi dan berbagai sumber.


    Demikianlah Artikel Kompleks Bangunan Keraton Surakarta

    Sekianlah artikel Kompleks Bangunan Keraton Surakarta kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

    Anda sekarang membaca artikel Kompleks Bangunan Keraton Surakarta dengan alamat link https://vandermormir.blogspot.com/2012/07/kompleks-bangunan-keraton-surakarta.html

    0 Response to "Kompleks Bangunan Keraton Surakarta"

    Post a Comment